Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kuatnya Arti Kepercayaan dan Keyakinan

Assalamualaikum sahabat, salam Generasi Cerdas di artike kali ini anda akan mendapatkan artikel mengenai Kuatnya Arti Kepercayaan dan Keyakinan. Dengan senang hati saya sediakan artikel ini untuk anda baca dan anda boleh mengambil, mengkopi atau Share artikel ini sesuai keinginan hati. Semoga artikel ini bermanfaat bagi anda.

Silahkan Baca Juga :




Kuatnya Arti Kepercayaan dan Keyakinan

Delapan tahun berlalu, sejak saat itu, ketika   kita saling mengatakan, bahwa kita pasti akan dipertemukan kembali, bukan sebagai sahabat, tempat curhat, teman bermain, berbagi canda dan tawa, melainkan sepasang kekasih, yang hidup dengan penuh pendirian akan keyakinan dan kepercayaan.

Saat itu, langit begitu cerah, pohon-pohon berdiri dengan kokohnya, daun melambai-lambai menggambarkan bahwa kita segera akan berpisah, udara yang begitu segar memberikan kedamaian dalam hati, bunga-bunga mekar dengan indahnya tanpa satupun layu.

Di bawah pohon, berdiri saling berhadapan, tatap-menatap, kelopak mata seolah tidak tahu bagaimana cara menutupnya.

Anggun nan elok ia berdiri dihadapanku, dengan hijab, tertutup rapi laksana mutiara, sangat berharga, dengan jarak tetap terjaga.

Dag dig dug, hatiku berdegup dengan kencang, tak kuasa menahan. Di saat itu pula, aku bertekad memberanikan diri untuk mengatakan beberapa hal.

Sembari memandang langit “Tak terasa sekarang kita sudah selesai menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Dari sini, kita akan mulai dengan kehidupan yang baru, teman baru, suasana baru.

“Di depan nanti rintangan dan halangan pasti ada. Mulai sekarang kita akan meraih mimpi-mimpi kita. Yang dulu pernah kita ikrarkan. Tak terasa persahabatan kita sudah cukup lama, bahkan aku mengenalmu lebih dari aku mengenal diriku sendiri”

Mendengar perkataanku wajahnya tertunduk tersipu malu, kemudian aku melanjutkan “Oh iya, aku ingin memberitahukan bahwa aku ingin melanjutkan studi di luar negeri, apakah kamu tetap melanjutkan studi di Indonesia?” Tanyaku.

Dia menganggukkan kepalanya, bukti tanda bahwa ia mengatakan iya. Nasehatku “Dimanapun kita belajar, jika sungguh-sungguh impian itu akan tercapai man jadda wa jadda.” Dengan berusaha tegar, mengatakan dengan senyuman.

Dia mengangkat kepalanya sembari melontarkan pertanyaan dengan lembutnya “Apakah ada yang ingin kamu katakan lagi?”

Pertanyaan ini yang aku tunggu-tunggu lirihku, namun aku tak mampu menjawabnya. Kata demi kata terbata-bata keluar dari muluku, sangat tidak jelas, aku  hanya bisa menggaruk-garuk kepala.

Melihat tingkahku, ia langsung mengatakan “Nggak apa-apa kok jika sekarang kamu tidak mampu untuk mengatakanya. Jika tiba waktunya nanti, aku yakin kamu berani untuk mengatakanya.”

Mendengar perkatanya, aku begitu yakin bahwa ia memiliki perasaan yang sama seperti  yang aku rasakan sekarang ini, “i…i…iya” jawabku. Bodohnya aku ini, mengerjakan ujian sampai mendapatkan ranking pertama, menjadi siswa terbaik tahun ini mudah bagiku, hanya mengatakan kata sedikit ini saja, begitu sulit.

Akupun mulai mengalihkan pembicaraan, “Bolehkah aku meminta sesuatu kepadamu?”, “Apa itu?” tanyanya balik. “Kita menjalani persahabatan sudah sangat lama, saling mengenal antara satu dengan yang lainnya, aku hanya ingin mengatakan, maukah kamu menjaga keyakinan dan kepercayaan akan diriku?”

Iapun kaget, mengangkat kepalanya begitu cepat, akupun demikian. “Ada apa?” Tanyaku. Dengan polosnya, ia mengarahkan senyumanya kepadaku tanpa sepatah katapun. Aku bingung dengan jawabanya, iya atau tidak.

Dengan perlahan-lahan ia mendekatiku, terasa angin saat itu begitu kencang, ranting-ranting pohon bergoyang dengan kencangnya, menjatuhkan daun-daun dari atas menyelimuti langkah kakinya mendekatiku.

Ia mengeluarkan sebuah kain sutra yang sangat disukainya, kemudian mengulurkan tangannya, memberiku kain sutra itu, seraya berkata “jika tiba waktunya nanti, datanglah dengan membawa sutra ini.”

“Aku yakin, aku percaya” bisiknya di telinga kananku. Seakan-akan aku tak mau itu cepat berlalu. Saat itu, merupakan hal yang paling indah dalam hidupku. Aku hanya bisa menganggukkan kepala.  Ia membalikkan badannya, melangkah maju, hingga beberapa jarak, menoleh kebelakang melihatku dengan memancarkan senyumannya yang unik itu.

Di saat itu pula kami berpisah. Selama itu, tidak satupun diantara kami, yang memberikan kabar. Kami fokus dalam meraih mimpi-mimpi kami, hari demi hari, bulan demi bulan, tahunpun berlalu. Kini aku sudah menggapai mimpiku hingga magister, dan bekerja di suatu perusahan ternama. Selama itu pula, aku bahkan tidak pernah mendekati perempuan manapun.

Setiap ada perempuan yang datang, aku hanya bisa mengatakan “bahwa aku sudah ada yang menunggu.” Padahal selama delapan tahun ini, aku tidak pernah berkencan dengan perempuan manapun. Selama itu pula, pikiranku hanya tertuju kepada sosoknya. Sutra darinya menjadi saksi, karena hanya itu yang menemani, mengingatkanku akan dirinya.

Hati ini terus bertanya-tanya, bagaimana kabar pendidikannya? Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah ada yang punya? Banyak sekali pertanya yang terlintas dari benakku.   

Perasaan-perasaan takut bermunculan, “Delapan tahun, bagaimana mungkin iya tidak ada yang menyukai dan mendatanginya, pasti banyak laki-laki yang datang ke rumah untuk meminangnya.”

Back home, pulang kembali ke rumah adalah jalan yang terbaik. Karena hanya itu yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Sepekan sudah aku di rumah, kabarnya masih belum ada. Padahal jarak rumahku dengannya tidak begitu jauh.

Dengan penuh semangat dan tekad yang kuat. Aku memutuskan untuk mendatangi rumahnya, kali ini aku datang bukan sebagai teman atau sahabat melainkan melamarnya menjadi istriku.

Keesokan harinya, setelah tiba di depan rumahnya. Berdiri, dengan membawa kotak bewarna merah di tangan kananku. Yang isinya berupa kain sutra yang sangat ia sukai, yang pernah dia kasih sebelum perpisahan itu terjadi.

Aku mengetuk pintu rumah, seraya mengucapkan salam “Assalamu’alaikum.” Terdengar suara jawaban di dalam pintu. Lagi-lagi jantungku berdetak dengan kencang, mendengar suara langkah kaki yang segera menuju pintu rumah. Gangang pintu mulai memutar ke kanan, pertanda pintu akan segera di buka.  Aku berharap dia yang membukakan pintu untukku.

Namun harapan itu tiba-tiba sirna. Ketika pintu terbuka, aku melihat sosok laki-laki tampan, berbadan tegak. Yang duduk berhadapan dengan Ayahnya. Dengan asiknya mereka sedang berbincang, entah mereka berbincang tentang apa, aku tidak tahu. Aku hanya terdiam, seakan kakiku tidak mampu untuk melangkah lagi.

Seluruh badanku terasa lemas, Bibi yang membukakan pintupun tidak aku perhatikan, langkahku hanya sejengkal. Aku hanya bisa menunduk, mataku berkaca-kaca, inginku putar balik segera pulang, namun aku tak kuasa.

Terdengar suara ayahnya memanggil namaku “Ardhy, kapan kamu datang nak.” Tanya Ayahnya, menyapaku. “Baru saja nyampe, yah.” Jawabku dengan suara pelan. “Ayo nak, duduk.” Aku melihat ayahnya sangat gembira dengan kedatanganku.

Aku duduk di sebelah laki-laki itu,  ayah langsung memanggilnya “Zarah, turun nak, ada tamu yang datang.” “Iya, yah.” Jawabnya.

Ketika ia turun dari tangga, dengan ayu dan santunnya. Aku melihat tidak ada satupun yang berubah dari caranya melangkahkan kaki, mungkin ini pertanda bahwa ia masih seperti yang dulu. Perlahan ia mendekat, dengan wajah yang menunduk, duduk disamping ayahnya.

Aku memandangnya terus-menerus, pandanganku hanya tertuju padanya. Inginku bertanya mengenai, siapa laki-laki yang duduk disampingku ini. Namun aku tak mampu, aku sadar siapa diriku ini. Aku hanya bisa terdiam tanpa kata.

Kemudian aku menyodorkan kotak merah yang berisi sutra darinya, yang telah lama aku simpan. Dengan perlahan, aku gerakan tanganku ia pun mengulurkan tangannya, mengambil kotak itu. Tanpa sebuah kata, tanpa pertanyaan darinya. Ia langsung membuka kotak itu, melihat kain sutra di dalamnya. Matanya berkaca-kaca, butir-butir bening membasahi pipinya.

“Ada apa, kenapa kamu mengeluarkan air matamu?” Hati ini meronta-ronta, aku tidak bisa menahan lagi. Butir-butir bening itu juga keluar dari mataku, seakan tak tega melihat ia menangis seperti itu. Suasanapun menjadi sunyi, laki-laki itu dan ayahnya seolah terdiam tidak tahu harus melakukan apa.
       
 Next Part 2



Itulah artikel inspiring story tentang  Kuatnya Arti Kepercayaan dan Keyakinan. Semoga artikel kisah inspirasi ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan inspirasi bagi anda. Dan semoga kita tetap dilindungi oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, aamiin.


Terimakasih sudah mengunjungi situs ini Penulis berharap, Jika anda suka dengan artikel ini silahkan berikan komentar yang membangun. Dan bagi anda yang ingin memberikan kritik dan saran silahkan mengirim pesan melalui contac di halaman Contac Form.  Sobat sampai ketemu lagi di artikel Generasi Cerdas berikutnya. Dan jika ingin mengetahui tentang blog ini silahkan tekan halaman about Jazakumullah khairon.

Anda sedang membaca artikel tentang Kuatnya Arti Kepercayaan dan Keyakinan

      



Post a Comment for "Kuatnya Arti Kepercayaan dan Keyakinan"